Sejarah

Pertanyaan

Berikan 3 contoh sikap Tawadhu Rasulullah saw.yang bisa kita tiru!

1 Jawaban

  • Tawadhu’ adalah sifat yang amat mulia, tetapi sedikit orang yang memilikinya. Ketika orang sudah memiliki gelar yang mentereng, berilmu tinggi, memiliki harta yang mulia, sedikit yang memiliki sifat kerendahan hati, alias tawadhu’. Padahal kita seharusnya seperti ilmu padi, yaitu “kian berisi, kian merunduk”.

    Pertama: Sebab mendapatkan kemuliaan di dunia dan akhirat.
    Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda (yang artinya), “Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga tidaklah seseorang memiliki sifat tawadhu’ (rendah diri) karena Allah melainkan Allah akan meninggikannya” (HR. Muslim no. 2588).
    Yang dimaksudkan di sini, Allah akan meninggikan derajatnya di dunia maupun di akhirat. Di dunia, orang akan menganggapnya mulia, Allah Swt pun akan memuliakan dirinya di tengah-tengah manusia, dan kedudukannya akhirnya semakin mulia. Sedangkan di akhirat, Allah akan memberinya pahala dan meninggikan derajatnya karena sifat tawadhu’nya di dunia.
    (Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16: 142)

    Tawadhu’ juga merupakan akhlak mulia dari para nabi ‘alaihimush sholaatu wa salaam.

    Lihatlah Nabi Musa A.s, beliau melakukan pekerjaan rendahan, membantu memberi minum hewan ternak dalam rangka menolong dua orang wanita yang ayahnya sudah tua renta. Lihat pula Nabi Daud A.s makan dari hasil kerja keras tangannya sendiri. Nabi Zakariya A.s dulunya seorang tukang kayu. Sifat tawadhu’ Nabi Isa A.s ditunjukkan dalam perkataannya (yang artinya),
    “Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.” (QS. Maryam: 32).

    Lihatlah sifat mulia para nabi tersebut. Karena sifat tawadhu’, mereka menjadi mulia di dunia dan di akhirat.

    Kedua: Sebab adil, disayangi, dicintai di tengah-tengah manusia.
    Orang tentu saja akan semakin menyayangi orang yang rendah hati dan tidak menyombongkan diri. Itulah yang terdapat pada sisi Nabi kita Muhammad Saw. Beliau Saw pernah bersabda (yang artinya),
    “Dan sesungguhnya Allah Swt mewahyukan padaku untuk memiliki sifat tawadhu’. Janganlah seseorang menyombongkan diri (berbangga diri) dan melampaui batas pada yang lain.” (HR. Muslim no. 2865).


    Mencontoh Sifat Tawadhu’ Nabi Muhammad Saw

    Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab: 21)

    Lihatlah Nabi Muhammad Saw masih memberi salam pada anak kecil dan yang lebih rendah kedudukan di bawah beliau. Anas berkata, “Sungguh Nabi Muhammad Saw biasa berkunjung ke orang-orang Anshor. Lantas beliau memberi salam kepada anak kecil mereka dan mengusap kepala mereka.” (HR. Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya no. 459.
    Sanad hadits ini shahih kata Syeikh Syu’aib Al Arnauth)

    Subhanallah … Ini sifat yang sungguh mulia yang jarang kita temukan saat ini. Sangat sedikit orang yang mau memberi salam kepada orang yang lebih rendah derajatnya dari dirinya. Boleh jadi orang tersebut lebih mulia di sisi Allah karena takwa yang ia miliki.

    Coba lihat lagi bagaimana keseharian Nabi Muhammad Saw di rumahnya. Beliau membantu isterinya. Bahkan jika sendalnya putus atau bajunya sobek, beliau menjahit dan memperbaikinya sendiri. Ini beliau lakukan di balik kesibukan beliau untuk berdakwah dan mengurus umat.

    Urwah bertanya kepada ‘Aisyah, “Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan Rasulullah Saw tatkala bersamamu (di rumahmu)?”
    Aisyah menjawab, “Beliau melakukan seperti apa yang dilakukan salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya. Beliau mengesol sandalnya, menjahit bajunya dan mengangkat air di ember.”
    (HR. Ahmad 6: 167 dan Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya no. 5676. Sanad hadits ini shahih kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth).
    Lihatlah beda dengan kita yang lebih senang menunggu isteri untuk memperbaiki atau memerintahkan pembantu untuk mengerjakannya.

    Rasulullah Saw tanpa rasa malu membantu pekerjaan isterinya.
    ‘Aisyah pernah ditanya tentang apa yang dikerjakan Nabi Muhammad Saw ketika berada di rumah. Lalu ‘Aisyah menjawab, “Beliau selalu membantu pekerjaan keluarganya, dan jika datang waktu shalat maka beliau keluar untuk melaksanakan shalat.” (HR. Bukhari no. 676).
    Beda dengan kita yang mungkin agak sungkan membersihkan popok anak, menemani anak ketika isteri sibuk di dapur, atau mungkin membantu mencuci pakaian.



Pertanyaan Lainnya